JAKARTA–Kalangan milenial turut berkontribusi membangun ketahanan pangan di masa depan. Salah satu inovasi teknologi ialah Sentrafarm. Co-founder Sentrafarm, Mush’ab Nursantio mengatakan, Sentrafarm merupakan agritech startup, di mana fokus pada comercial vertical farming dan beberapa inovasi teknologi di agriculture. Tidak hanya itu, Sentrafarm juga berfokus di bisnis food & beverages (makanan dan minuman) dengan konsepnya menyerupai fast food restaurant di mana pihaknya mengenalkan produk-produk teknologi pangan ke masyarakat. “Sentrafarm ini latar belakang pendiriannya ingin mengaddress masalah global food system. Secara general kita melihat masalah demand and supply, di mana ada penambahan jumlah penduduk dan 80 persennya di tahun 2050 akan tinggal di urban area atau perkotaan,” ujar Mush’ab dalam webinar Food Heroes Day, kemarin.
Dengan meningkatnya sisi demand dan supply, Mush’ab menyampaikan bahwa pihaknya melihat ada tantangan besar ke depan seperti perubahan iklim, degradasi lahan di mana hampir 40 persen lahan subur di dunia tidak produktif lagi. Selain itu penggunaan resources seperti air di mana 70 persen fresh water global digunakan untuk pertanian. “Ini kita lihat dengan teknologi industry vertical farming ini kita bisa menyelesaikan sebagian dari masalah tersebut, di mana dengan sistem ini kita bisa memproduksi 50 kali lebih banyak dikarenakan kita menggunakan artificial lightning, tidak menggunakan matahari tapi menggunakan panjang cahaya spektrum tertentu dengan menggunakan LED kita bisa menghemat space dengan menumpuk skalanya dengan vertikal,” katanya.
Dengan intensitas cahaya yang diterima jauh lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional, tanaman bisa panen jauh lebih cepat. Dari yang biasanya konvensional pertanian membutuhkan waktu tiga bulan untuk panen, di sistem ini hanya membutuhkan 25 sampai 30 hari. “Karena ini di tempat tertutup kita bisa control climatenya di mana sangat aman, tidak menggunakan pestisida sama sekali dan airnya cycle di mana kita menggunakan 95 kali lebih sedikit air dibanding pertanian konvensional,” ucapnya.
Selain itu, di Indonesia, menurutnya, memiliki masalah pada regenerasi petani, di mana mayoritas petani menginginkan anak-anaknya agar tidak menjadi petani nantinya. “Ini yang kita lihat sebagai salah satu yang bisa jadi solusi, yang kita lihat dari tim internal kita sendiri, kita perusahaan pertanian tapi yang lulusan pertanian cuma dua orang, kebanyakan engineer dan software developer, ini yang sudah belajar pertanian malah kariernya di bidang lain, ini kita yang jelas-jelas bidang lain malah kariernya di pertanian. Ini salah satu benefit yang kita bisa lihat secara langsung,” tuturnya.(*)