Tangis Mak Lebang di Tengah Gemerlap Kota: Sebuah Harapan untuk Hunian Layak

Bagikan

BARRU — Di tengah hiruk-pikuk Kota Barru yang semakin berkembang, di mana gedung-gedung berdiri megah dan aktivitas ekonomi terus berputar, ada satu sudut yang luput dari perhatian. Sebuah gubuk kecil, reyot, dan jauh dari kata layak huni menjadi tempat bernaung bagi sembilan jiwa. Di dalamnya, Mak Lebang dan keluarganya berusaha bertahan dengan segala keterbatasan.

Lebaran yang bagi banyak orang menjadi momen penuh kebahagiaan, justru terasa begitu berat bagi keluarga ini. Tidak ada meja makan dengan hidangan melimpah, tidak ada baju baru untuk dikenakan, apalagi keceriaan anak-anak yang menanti angpao dari sanak saudara. Yang ada hanyalah dinding-dinding rapuh yang tak mampu menahan dingin malam dan panasnya siang.

Kisah ini pertama kali diangkat oleh Muhammad Nur Syahid, seorang warga Kabupaten Barru yang tak mampu membiarkan kesulitan Mak Lebang berlalu tanpa perhatian. Lewat unggahannya di media sosial, ia mengetuk hati masyarakat untuk bersama-sama berbuat sesuatu.

“Ini orang Barru yang lebarannya mungkin tidak sebahagia orang Barru yang lain. Rumahnya tepat di pusat kota, tak jauh dari pusat pemerintahan dan fasilitas umum lainnya. Tapi, nasibnya jauh dari kebanyakan orang Barru lainnya,” tulisnya, Kamis (3/4), dengan harapan menggugah kepedulian sesama.

Di lorong SD Mattirowalie, Jalan AP Pettarani, Kelurahan Tuwung, Kecamatan Barru, keluarga ini bertahan dengan segala keterbatasan. Tanpa tempat tinggal yang memadai, Mak Lebang dan anak-anaknya hanya bisa berharap ada tangan-tangan dermawan yang sudi mengulurkan bantuan.

“Apakah kita diam saja? Atau kita memilih berbuat dari sekarang agar Idul Adha nanti Mak Lebang bisa juga merasakan kebahagiaan yang sama?” tanya Nur Syahid dalam unggahannya yang semakin banyak mendapat perhatian.

Ramadan sejatinya adalah bulan penuh kebaikan, bulan di mana setiap individu berlomba-lomba berbuat amal. Namun, setelah Ramadan berlalu, apakah kepedulian itu masih tersisa? Ataukah semua kembali pada kesibukan masing-masing tanpa peduli ada tetangga yang berjuang hanya untuk sekadar bertahan hidup?

Mak Lebang tidak meminta lebih. Ia hanya ingin tempat tinggal yang layak, tempat di mana anak-anaknya bisa tumbuh tanpa takut atap runtuh atau dinding roboh diterpa angin. Ini bukan sekadar kisah kemiskinan, tetapi panggilan bagi kita semua untuk bertindak.

Barru, dengan filosofi kebaikannya, diuji dengan kenyataan ini. Apakah kepedulian itu nyata? Ataukah hanya sebatas kata-kata?

Saat ini, kita masih memiliki kesempatan untuk berbuat. Masih ada waktu untuk membuktikan bahwa di tengah kota yang berkembang, tidak ada yang dibiarkan tertinggal. Untuk Mak Lebang dan keluarganya, untuk sebuah rumah yang lebih layak, dan untuk menjadikan Idul Adha mendatang lebih bermakna bagi mereka.