Dumpi Eja atau kue merah, adalah kuliner khas suku Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan yang sarat akan makna. Terbuat dari beras ketan dan gula merah, kue kenyal ini bukan sekadar camilan, melainkan simbol manisnya cinta dan kasih sayang dalam tradisi Kajang.
Penulis : Sela Destiana Lita
Editor : Awaluddin Qadir
Selain itu proses pembuatan kue ini melibatkan banyak warga dan biasanya dibuat dalam jumlah besar untuk disajikan sebagai hantaran. Cemilan ini juga biasanya disajikan dalam ‘Baku Puli’ semacam baskom besar.
Jumansia, seorang perajin kue merah yang telah menekuni keterampilannya sejak usia muda, kini telah berusia 50 tahun. Baginya, kue merah atau Dumpi Eja bukan sekadar makanan, melainkan warisan berharga dari suku Kajang yang terus dilestarikan.
“Dumpi Eja sudah menjadi favorit masyarakat Kajang sejak dulu, termasuk keluarga saya,” ujar Jumansia.
Ia merasa terpanggil untuk membagikan kelezatan kue ini kepada lebih banyak orang.
Yang berbeda dari Dumpi Eja ini adalah penggunaan bahan alami dan resep turun-temurun yang diwariskan oleh suku kajang.
Kombinasi rasa yang nikmat dan ketersediaannya yang terbatas pada acara-acara khusus membuat dumpi eja semakin istimewa dan digemari oleh masyarakat.
Rahmi, yang juga seorang pembuat Kue Dumpi Eja eja, berbagi cerita mengenai kuliner tradisional ini. Ia menjelaskan bahwa Dumpi Eja telah ada sejak lama dan biasanya disajikan dalam acara-acara penting seperti pernikahan, pa’dangangan, dan perayaan lainnya.
Resep Pembuatan Dumpi Eja
Proses pembuatannya melibatkan banyak warga setempat, menciptakan momen kebersamaan yang berharga.
Dumpi Eja terbuat dari bahan sederhana: beras ketan, gula merah, air, dan wijen. Beras ketan yang telah dihaluskan dicampur dengan gula merah hingga merata, kemudian ditambahkan air dan diaduk hingga adonan tercampur tanpa gumpalan. Setelah itu, adonan disimpan semalaman sebelum digoreng. Aroma harum saat digoreng menjadi daya tarik utama kue ini.
Rahmi menekankan pentingnya melestarikan Dumpi Eja, terutama di kalangan generasi muda.
“Saya khawatir jika kue ini tidak dilestarikan, generasi muda akan kehilangan warisan budaya yang berharga,” ungkapnya. Ia berusaha mengajari anak-anak untuk membuat Dumpi Eja agar tradisi ini tetap hidup dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang.
Dr. Andi Rahma, seorang pegawai negeri sipil (PNS) dan juga seorang ahli kuliner dan penulis buku masakan tradisional, berbagi pandangannya mengenai Dumpi Eja atau kue merah.
Ia menyoroti bahwa meskipun kue ini merupakan bagian integral dari budaya kuliner Kajang selama berabad- abad, tantangan terbesar yang dihadapi adalah kurangnya minat generasi muda untuk mempelajari dan melestarikan resep tradisional.
“Generasi muda cenderung lebih tertarik pada makanan cepat saji, sehingga penting untuk mencari cara agar mereka kembali tertarik pada makanan tradisional,” ungkapnya.
Melestarikan Kuliner Khas Dumpi Eja
Dr. Andi Rahma, mengusulkan beberapa langkah untuk melestarikan Dumpi Eja, seperti bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan pariwisata kuliner dan melestarikan budaya lokal. Ia juga menyarankan agar Kue Dumpi Eja diusulkan sebagai warisan budaya takbenda untuk mendapatkan pengakuan resmi. Selain itu, pemanfaatan media sosial dapat meningkatkan kesadaran akan keberadaan kue ini.
Pendidikan memiliki peran penting dalam pelestarian kuliner tradisional. Dr. Andi Rahma menyarankan sekolah-sekolah untuk mengadakan program edukasi tentang makanan tradisional melalui kursus memasak. “Melalui kursus memasak yang efektif, diharapkan anak-anak dapat mengenal kue khas daerahnya dan menyadari pentingnya melestarikan Dumpi Eja,” tambahnya.
Dr. Andi Rahma, berharap Dumpi Eja terus menjadi bagian dari identitas kuliner Indonesia, tidak hanya dikenal tetapi juga dihargai dan dilestarikan oleh generasi mendatang. “Dengan dukungan pendidikan dan pemerintah, saya yakin Dumpi Eja akan tetap hidup dan menjadi kebanggaan masyarakat Kajang,” pungkasnya.
Dengan upaya bersama antara masyarakat pembuat dumpi eja, pemerintah, dan generasi muda, diharapkan Dumpi eja tetap menjadi simbol budaya yang mencerminkan cinta dan kasih sayang suku kajang, serta dapat dinikmati oleh lebih banyak orang di masa depan.(*)