BALI — Pulau Bali menyimpan banyak kekayaan budaya dan tradisi. Rubrik kali ini coba membedah salah satu tradisi yang merupakan kearifan lokal masyarakat Desa Selulung, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Desa Pakraman Selulung yang diyakini sebagai salah satu Desa Bali Aga/Bali Mula yang terdapat di wilayah Kintamani Barat. Desa ini mempunyai tradisi unik, yaitu “Tradisi Wadak” yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh masyarakat setempat.
“Wadak” merupakan sebutan untuk sapi Bali jantan yang dilepas liarkan setelah melalui upacara penyucian yang dikenal dengan nama upacara pengeleb. Kata wadak sendiri berasal dari bahasa kawi yaitu warak yang kemudian dalam bahasa Jawa diartikan menjadi badak. Badak ini dikaitkan dengan upacara Raja Homa yang menggunakan badak sebagai hewan kurban.
Upacara pengeleb dilakukan setiap Anggara (Selasa) Kliwon Wuku Julungwangi, Wuku Prangbakat, dan Wuku Dukut. Menurut perhitungan kalender Bali, hari Anggara Kliwon tersebut datangnya setiap enam bulan sekali, sehingga upacara pengeleb dapat dilakukan enam kali dalam setahun. Menurut cerita masyarakat Desa Selulung, sapi yang akan digunakan untuk upacara pengeléb tidak boleh sembarangan, karena ada beberapa kriteria tertentu yang harus dipenuhi.
Kriteria sapi untuk pengeleb adalah sapi Bali jantan yang berusia 6 bulan – 1 tahun, tidak memiliki kelainan fisik maupun genetik seperti albino, injin/melanism, sapi cundang, dan sapi panjut). Selain itu ciri lainnya adalah bulu sapi kecil tipis (masyarakat setempat menyebut bulu “geles”). berwarna merah bata serta tidak cacat fisik (pirung, peceng, perot).
Sebelum dilepasliarkan, ekor sapi akan ditarik dengan kuat secara beramai-ramai oleh sekeja teruna sampai sapi tersebut kelelahan. Setelah prosesi tersebut berakhir, sapi akan dilepas liarkan dan selanjutnya disebut dengan “wadak”. Prosesi penarikan sapi inilah yang menjadikan umumnya sapi wadak yang telah tumbuh dewasa memiliki ciri cacat berekor buntung atau adanya bekas luka di badannya.
Saat ini “Wadak” tidak hanya tersebar di Desa Pakraman Selulung tetapi juga ke desa-desa tetangga. “Wadak” yang liar ini secara alami mereka akan mendeteksi adanya betina yang birahi di wilayah desa tersebut. Kemudian “Wadak” akan mendatangi betina yang birahi tersebut dan terjadilah perkawinan secara alami.
Umumnya “Wadak” hidup berkelompok dan satu kelompok terdiri atas 2-7 wadak. Meskipun hidup liar, wadak-wadak ini tidak mengganggu penduduk. Keberadaan “Wadak” sangat dihormati dan disucikan. Masyarakat percaya “Wadak” yang makan di kebun mereka akan mendatangkan berkah berupa hasil panen yang meningkat di tahun berikutnya.
Karena sudah liar masyarakat tidak secara sengaja mencarikan pakan untuk “Wadak”. Mereka membiarkan “Wadak” mencari makan di sekitar kebun. Mereka hanya akan menghalau apabila wadak merusak kebun mereka. Mereka tidak berani membunuh atau menyakiti wadak karena dipercaya membunuh wadak akan mendatangkan bencana bagi yang bersangkutan. Bagi penduduk desa yang telah membunuh wadak akan diberi sanksi, wajib melaksanakan upacara pengeléb untuk mengganti wadak yang telah dibunuh.
Dari cerita tentang “wadak” ini kita dapat simpulkan bahwa masyarakat Desa Selulung ini secara tidak langsung telah melakukan seleksi untuk menghasilkan sapi bali unggul melalui proses pelaksanaan upacara pengeleb. Dengan adanya “Wadak” Masyarakat juga memperoleh keuntungan karena tidak perlu mengeluarkan biaya kawin untuk sapi betina mereka yang sedang birahi.
Keberadaan Wadak ini juga disinyalir mampu meningkatkan kebuntingan Sapi Betina di Bangli melebihi dari target yg ditetapkan melalui Program Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Sejalan dengan program itu, tradisi wadak mampu menyiapkan pejantan unggul Sapi Bali karena nalurinya mendeteksi betina birahi dinilai akurat secara alami.(*)