BOGOR– Kinerja sektor pertanian di tahun 2020 menorehkan hasil yang menggembirakan. Melansir data penghitungan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tanggal 15 Oktober 2020, perkiraan produksi padi 2020 mengalami peningkatan 1,02 % dibanding tahun sebelumnya. Produksi padi pada 2020 sebesar 55,16 juta ton GKG (Gabah Kering Giling), mengalami kenaikan 556,51 ribu ton dibandingkan produksi 2019 sebesar 54,60 juta ton GKG.
Tentang hal ini, Pemerhati Kebijakan Pertanian, Prof. Pantjar Simatupang menilai peningkatan produksi padi ini merupakan berita gembira dan prestasi membanggakan di tengah aneka berita sedih dan kegagalan akibat dampak pandemi Covid-19 berkepanjangan.
Capaian ini membenarkan kebijakan pemerintah, dimana penghujung bulan Oktober ini belum mengumumkan akan melakukan impor beras dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada tahun 2020.
“Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada tahun 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras,” demikian ujar Pantjar di Bogor, Selasa 27 Oktober 2020.
Ia membeberkan tidak perlunya impor beras bukan semata-mata karena terjadi peningkatan produksi padi tersebut. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan kunci yang menjadi penentu kebijakan impor beras.
“Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi jika sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volumen serapan gabah petani mencapai 988 ribu ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton,” beber Pantjar.
Pertimbangan kedua, kata Pantjar, mengacu norma FAO bahwa stok beras nasional cukup dengan SUR (Stock Utilization Ratio) di atas 18%. Realitasnya, Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR juga aman di 27,78%.
“Ketiga, beras eceran telah menunjukkan gejala akselerasi peningkatan musim paceklik sejak bulan September. Realitasnya, BPS mencatat harga beras eceran menurun 0,12 persen pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06 persen pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil,” terangnya.
Keempat, sebut Pantjar, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%/tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5%/tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap. Realitasnya, angka sementara BPS menunjukkan bahwa produksi padi 2020 meningkat 1,02%.
“Konsumsi beras pada tahun 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit, bahkan Kementerian Pertanian memperkirakan surplus produksi beras sebesar 2,26 juta ton.
Kelima, Pantjar menuturkan yang menjadi pertimbangan kunci pengambilan keputusan impor beras yakni prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Realitasnya, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021.
“La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras,” tuturnya.(*)